Transaksi yang di-haram-kan...

Ironis, bila hajatan lima tahunan untuk memilih para wakil rakyat dan pemimpin negeri ini diciderai dengan iming-iming gelimangan rupiah alias money politics. Islam dengan tegas mengharamkan politik uang. Karena itu status yang menyogok dan yang disogok sama-sama berdosa.

Melihat banyaknya kasus korupsi di negeri ini, peluang untuk melakukan riswah dalam memilih wakil rakyat dan pemimpin negeri ini masih besar. Terbukti dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga Survei Indikator Politik Indonesia tentang seberapa besar tingkat penerimaan pemilih di daerah dan nasional terhadap politik uang menjelang Pemilu 2014 ini.

Dari hasil survei disebutkan bahwa sebanyak 41,5 persen responden di 39 daerah pemilihan menganggap politik uang adalah sesuatu yang wajar. "Ini berbahaya dan sudah di level warning," kata Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi, dalam konferensi persnya.

Selanjutnya, dari 41,5 persen responden yang menganggap politik uang wajar, mereka ditanya lagi soal kecenderungan terhadap hadiah atau uang yang diberikan. Hasilnya, 55,7 persen memilih untuk mengambil uang, tetapi tidak memilih si calon yang memberikan uang itu. "Ini ibarat penipu kecil yang ingin menipu perampok besar," ujar Burhanuddin.

Sementara secara nasional, Indikator mencatat sebanyak 54,3 persen responden menolak politik uang dan memilih partai yang tidak melakukan praktik politik uang. Dari situ diambil kesimpulan, semakin luas konstituen, justru semakin sedikit terjadi praktik politik uang. "Semakin orang mengaku sering ditawari politik uang, semakin toleran terhadap politik uang. Jadi yang pernah ditawari cenderung toleran dan menerima politik uang," katanya.

KH Ma'ruf Amin menjelaskan MUI dan masyarakat resah dengan money politics ini. Praktik ini terjadi karena adanya peluang dari sistem politik di negeri ini. Karena itu diperlukan adanya penataan ulang, sehingga untuk seseorang yang akan maju, tidak perlu dengan money politics.

Menurut Kiai Ma'ruf, sampai saat ini politik uang masih mengakar kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat, lanjutnya, harus dididik lebih jauh mengenai sistem politik yang baik dan bersih. "Ini kan sudah menjadi budaya. Sistem politik untuk itu. Coba kalau itu dihilangkan masyarakat sendiri harus cerdas. Harus diedukasi," katanya.

Politik uang  menurut dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Wawan Gunawan Abdul Wahid,  merupakan perbuatan yang melanggar agama. Islam menempatkan penyuapan sebagai perbuatan yang dilaknat.
Dari Tsauban RA dia berkata:  "Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi  perantara antara penyuap dan penerima suap." (Hadis Riwayat Ahmad).

Menurut Wawan politik uang sama dengan virus yang menggerogoti dan melemahkan moral dan etos kerja  masyarakat. Virus politik uang yang membahayakan itu setidaknya terlihat dari tiga efek negatif yang ditimbulkannya. 
Pertama, memanjakan dan membuat  masyarakat malas. 
Kedua, menjadi pemicu terjadinya lingkaran setan korupsi. 
Ketiga, munculnya pemimpin tidak sejati.

Bahaya lain dapat mengikuti terpilihnya pemimpin "transaksional" yang dipilih dengan politik uang model ini. Seringkali pimpinan yang terpilih menciptakan lingkaran khusus bersama "Pimpinan Rombongan" yang ditempatkannya  bersama dengan kroni yang dipandang dapat dipercaya dan mendukungnya. Mereka pun dengan seirama akan saling mendukung satu sama lain untuk berbagai program dan proyek.

Pembiaran terhadap politik uang sama  dengan membiarkan lahirnya seorang pemimpin tidak sejati yang menjadi awal musabab terjadinya kebangkrutan kepemimpinan yang  berefek pada kebangkrutan masyarakat bahkan bangsa.

Dari Abu Hurairah dia berkata:"Ketika Nabi SAW berada pada suatu majelis sedang berbicara kepada orang banyak, Nabi didatangi seorang Arab Badui lalu ia bertanya kapan kehancuran itu terjadi? Rasulullah SAW tetap berbicara kepada orang banyak. Sebagian orang berkomentar bahwa Nabi mendengar pertanyaan orang tadi dan tidak  hendak menjawabnya, sebagian berkata Nabi tidak mendengar pertanyaannya. Ketika Nabi menyelesaikan nasihatnya Nabipun  bertanya 'Mana yang bertanya tentang kehancuran tadi?' 'Akulah wahai Rasulullah!' Kemudian Nabi bersabda: 'Ketika amanat  itu disia-siakan maka nantikanlah kehancuran itu'. Lalu ia berkata  lagi. Bagaimana amanat itu disia-siakan? 'Ketika suatu perkara  diserahkan kepada orang bukan ahlinya tunggulah kehancuran'." (HR al-Bukhari).

0 comments:

Post a Comment